Oleh : Al Akh Abu Husain Rasyid Al Maidani
Ketahuilah… perkara keduniawian pada asalnya hukumnya adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya, sementara ibadah itu pada asalnya adalah haram untuk dikerjakan sampai ada dalil shahih yang memerintahkannya. Inilah kaidah yang harus dipegang oleh setiap muslim baik itu dari sisi I’tiqod, ibadah maupun mu’amalah, sehingga tidak membuat kita bermudah-mudah membuat suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam.
Alloh berfirman : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Alloh dan RasulNya, dan bertakwalah kepada Alloh…” ( QS. Al Hujurot : 1)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitabnya tafsirnya, “Melalui ayat ini Alloh Ta’ala mengajarkan adab kepada hamba-Nya yang mukmin berupa pengagungan dan penghormatan terhadap apa yang dikerjakan Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Maksudnya janganlah kalian mengagungkan (mengamalkan disertai keyakinan akan kebaikannya-pent) suatu amal sebelum Alloh dan RasulNya menetapkan bolehnya amal tersebut, tetapi hendaklah kalian ittiba’ dalam segala perkara agama”. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “baik itu perkataan maupun perbuatan (amal lisan maupun amal badan-pent). (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)
Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiAllohu ‘anha, bahwa Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang membuat-buat dalam urusan (agama) kami ini apa-apa yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak (Shahih Bukhari, kitab Ash Shulh no.2697 dan Shahih Muslim kitab Al Aqdhiyah no.1718)
Dalam riwayat yang lain dari Imam Muslim, “Barangsiapa yang beramal suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak”.
Perkataan para ulama hadits diatas sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama merupakan salah satu diantara tiga hadits ushuluddin yang menjelaskan standar zahir (yang diajarkan oleh Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam) dalam suatu ibadah, disamping hadits tentang niat (Arba’in Nawawiyah no.1) yang merupakan standar batin (ikhlas karena Alloh) dan hadits Nu’man bin Basyir tentang kejelasan yang halal dan yang haram (Arba’in Nawawiyah no.6). Dari hadits diatas, lafaz “fii amrinaa” mencakup seluruh perkara yang baru, baik perkara I’tiqodiyah, qouliyah maupun ‘amaliyah, ibadah maupun mu’amalah, pokoknya segala perkara yang baru yang dinisbahkan kepada din, inilah yang dinamakan bid’ah. Hal ini disinyalir dari hadits yang diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, seperti Imam Abu Dawud, Ibnu Abi Ashim dan lainnya serta dishahihkan Syaikh Al-Albani : “…maka sesungguhnya seluruh yang ditambah-tambah (dalam agama) adalah bid’ah…”
Mengenal Makna Bid’ah
Definisi bid’ah yang paling baik adalah yang disampaikan Imam Asy Syathibi dalam kitab beliau yang agung Al ‘Itishom, yaitu “jalan yang baru dalam din yang menyerupai syari’at yang dimaksudkan dengannya untuk beribadah kepada Alloh Ta’ala”.
Maka dapat diterangkan kriteria suatu amal itu disebut bid’ah jika sebagai berikut :
1. dilakukan secara terus menerus
2. baru, tidak contoh atau tidak ada dalil syar’i yang shahih
3. menyerupai syariat baik dari sisi sifatnya atau dari sisi tujuan dilakukannnya amal tersebut, yakni untuk mendekatkan diri kepada Alloh.
Jika terkumpul pada suatu amal 3 kriteria diatas, maka amal itu disebut bid’ah. Meskipun amal itu dipandang baik oleh banyak orang tidaklah mengubah statusnya berubah menjadi boleh, baik apalagi disunnahkan !! sebagaimana perkataan sohabiyun jalil (sahabat Rasul yang agung) Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyAllohu ‘anhu, “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak mendapatkannya”. Juga dari beliau, “ittiba’lah (mengikuti Rasul dan sahabatnya) kalian, dan jangan berbuat bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupi !”.
Perlu diketahui bahwa sifat-sifat syari’at ada beberapa hal :
a) tertentu waktunya, contoh : shalat, maka kalau kemudian seseorang melakukan suatu shalat yang dia menentukan waktunya atau hanya mengikuti pendapat seseorang tanpa ada dalil dari syari’at Islam itulah dia bid’ah.
b) tertentu tempatnya, contoh : thawaf, jika thawaf haji adalah di Ka’bah, maka kalau ada seseorang membuat thawaf versi baru dengan melakukan thawafnya di Masjid Nabawi di Madinah maka itulah bid’ah.
c) tertentu jenisnya, contoh : zakat, untuk orang Indonesia zakat fitrahnya adalah beras karena itulah makanan pokoknya, maka kalau ada seseorang zakatnya berupa anggur merah meskipun mahal dan dikeluarkan sebanyak seribu kilo tetaplah tidak diterima, itulah dia bid’ah.
d) tertentu jumlahnya, contoh : shalat shubuh, disyari’atkan sebanyak dua raka’at. Maka kalau ada seseorang shalat shubuh kurang atau lebih dari 2 rakaat dengan sengaja dan menganggapnya baik, maka itulah bid’ah.
e) tertentu tata caranya, contoh : niat, jika seseorang hendak melaksanakan shalat atau puasa atau ibadah lainnya maka haruslah disertai dengan niat didalam hati. Jika ada yang melafazhkan niat seperti “ushalli fardha dzuhri” atau selainnya maka dia telah melakukan tata cara tambahan, karena hal ini tidak ada tuntunannya dalam syari’at. Kalau shalat dan menuntut ilmu adalah sama-sama ibadah, bahkan bersetubuhnya suami istri juga ibadah, seandainya benar ada lafazh niat shalat, maka apa lafazh niat menuntut ilmu dan bersetubuhnya suami istri?!
Bedakan Bid’ah dengan Masholihul Mursalah
Kalau perkara duniawi jelas tidak diingkari kebolehannya selama hal itu membawa kebaikan walaupun itu baru semua, akan tetapi kalau membawa madharat dan menyelisihi syari’at barulah hal itu diingkari. Karena perkara yang menjadi urusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah yang berkaitan syari’at dinul islam. Beliau bersabda :
“engkau lebih mengetahui tentang perkara duniamu” (HR. Muslim)
Namun hal itupun harus tetap didalam koridor syari’at dan jangan sampai keluar darinya. Oleh karena itu, agar kita bisa membedakan kedua istilah ini maka perlu diketahui bahwa :
a) masholihul mursalah terjadi pada perkara duniawi atau pada sarana/wasilah demi penjagaan lima maqashid (tujuan utama) syari’ah yaitu agama, jiwa, harta, keturunan dan akal; sementara bid’ah terjadi pada ibadah atau ghoyahnya (tujuan).
Ikhwah fiddin, ketahuilah bahwa masholihul mursalah adalah tuntutan, maka pada hakikatnya masholihul mursalah itu memiliki dalil, yaitu dalil umum kewajiban untuk menjaga kelima maqashid syari’ah. Sehingga apabila tidak akan terjaga kelima hal tersebut kecuali dengan mengadakan sesuatu walaupun terkait dengan agama maka hal itu bukan bid’ah tetapi tergolong masholihul mursalah.
Contohnya adalah pembukuan/pencatatan Al Qur’an dan Hadits. Hal ini adalah tuntutan demi terjaganya syari’at ini. Kalau di awal waktunya hal ini tidak diperlukan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam masih ada, wahyu pun masih turun dan para sahabat sangat kuat hafalannya. Namun sepeninggal Rasulullah maka dituntut Al Qur’an itu untuk disatukan, karena kaum muslimin sudah tersebar dimana-mana sementara para penghafal Al Qur’an tidak tersebar. Apabila di zaman kita ini tidak ada pembukuan Al Qur’an, hal ini justru akan membahayakan syi’ar islam. Bagaimana mungkin memakai kacamata untuk memudahkan membaca Al Qur’an dan menggunakan mikropone untuk mengeraskan suara adzan dikatakan bid’ah kalau kita sudah mengetahui kaidah pertama ini ?!
b) masholihul mursalah tidak ada tuntutan untuk dikerjakan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sedangkan bid’ah tuntutan untuk dikerjakan itu sudah ada pada zaman Nabi.
Contohnya adzan pada shalat ‘Ied. Kalau kemudian seseorang mengumandangkan adzan pada shalat ‘ied dengan alasan untuk memanggil manusia agar segera berkumpul, kebutuhan adzan untuk memanggil manusia pada shalat ‘ied sudah ada pada masa Rasulullah, tetapi beliau tidak melakukannya menunjukkan bahwasanya itu bukan untuk kebaikan (walaupun adzan itu bagus). Hal ini membuktikan bahwa agama bukanlah berdasarkan akal dan perasaan kita, akan tetapi harus ittiba’ pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sekalipun hawa nafsu kita memandangnya baik namun jikalau tidak ada dalil syar’i maka tetaplah hal itu tercela.
Maka kita dengan mudah membedakan, kalau kemudian ada sebuah perbuatan yang itu memungkinkan dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya namun tidak mereka lakukan hal ini menunjukkan bahwa hal itu bukan merupakan kebaikan dan bid’ah kalau kita melakukannya setelah mereka.
Misal perayaan Maulid Nabi dan Isra Mi’raj, demi membangkitkan rasa cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sudah ada tuntutannya pada masa Nabi, karena seandainya hal ini betul mendatangkan kecintaan kepada Nabi, tentunya para sahabat lebih dahulu melakukannya karena mereka paling suka melakukan sesuatu yang mendatangkan cinta Rasul, tentunya mereka lebih butuh dan bersemangat karena mereka adalah generasi terbaik ummat ini. Namun kenyataannya mereka tidak pernah melakukannya. Apakah kita merasa lebih mulia dari nabi dan sahabatnya ?! Allahu musta’an. Dan kalau boleh dengan mending-mendingan (hal ini tentu tidak boleh dan jangan coba-coba membuka pintu tawar-menawar dalam agama), kita seharusnya bukan merayakan kelahiran beliau dengan berfoya-foya harta untuk penyelenggaraan acaranya, tetapi sepantasnya berduka cita karena tanggal kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sama dengan tanggal wafatnya beliau !! sadarlah saudaraku…..
Agama Islam telah SempurnaAlloh Ta’ala berfirman : “…pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan bagi kalian nikmatKu, dan Aku ridha Islam sebagai agama bagi kalian (QS. Al Maidah : 3)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat diatas dalam kitab tafsirnya, “...Tiada sesuatu pun yang halal melainkan apa yang telah Rasulullah halalkan, dan tidak ada yang haram melainkan apa yang telah beliau haramkan. Tidak agama kecuali apa yang telah beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan adalah benar adanya dan jujur, tiada kedustaan maupun perselisihan didalamnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)
Sebagian para pelaku bid’ah jika dikatakan kepadanya bahwa apa yang dikerjakannya adalah bid’ah dan tidak ada tuntunannya dari syari’at maka biasanya mereka mengatakan, “Bukankah ini baik? ". Astaghfirullah, sedangkan kita tahu bahwa syaithon lebih menyukai perbuatan bid'ah manusia daripada maksiat. Kenapa? karena ketika berbuat maksiat manusia mengetahui dan menyadari bahwa dirinya telah berbuat dosa. Sedangkan ketika melakukan bid'ah, manusia malah menyangka sedang melakukan kebaikan dalam rangka mencari pahala Allah. Padahal sebaliknya, mereka berada dalam kebodohan yang nyata....
Salah satu cara terbaik menjawab syubhat ini adalah diajak dialog kepadanya kepada suatu hal yang diingkarinya namun dia sendiri melakukannya.
Contoh dialognya :
Pelaku: “Masak dzikir atau tahlilan aja dilarang, emang kamu siapa? Ini kan baik?!Gak ada dalil yang melarangnya.”
Penuntut ‘ilmu: “Pak, seandainya saya mau shalat shubuh 4 raka’at bagaimana? Bukankah semakin banyak takbir, ruku’ dan sujudnya semakin baik ?”
Pelaku: “Ndak boleh!”
Penuntut ‘ilmu: “Mana dalil yang melarangnya? Apakah ada hadits, ‘la tushalli shubhi arba’a rak’atiin (janganlah kamu shalat shubuh 4 raka’at!) ?”
Pelaku: “Memang gak ada dalil yang melarang, tapi tuntunan dari Rasul adalah 2 raka’at. Walaupun kamu anggap baik tapi gak ada tuntunannya.”
Penuntut ‘ilmu: “Nah, sekarang bapak mengakui bahwa amalan bukan dilihat dari selera kita apakah itu baik atau enggak, tapi karena gak ada contohnya. Lantas dzikir jama’i dan tahlilan yang bapak lakukan juga gak ada tuntunannya!! Bukankah bapak mengingkari apa yang bapak pegang?”
Namun dialog diatas bukanlah dimaksudkan untuk mengajak antum untuk rajin berjidal (debat) bukan pula untuk memojokkan anda yang masih berkutat dengan kebid’ahan. Akan tetapi saya cantumkan demi memperbaiki cara beragama kita bersama, menyadarkan orang yang belum sadar tentang bid’ah yang dilakukannya, serta memurnikan kembali ajaran Islam agar bersih dari TBC (Takhayyul, Bid’ah, Churofat).
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi meriwayatkan kisah munazhoroh (perdebatan) Imam Al Adzromi-ulama salaf- dengan Ahmad Ibnu Abi Duad -mu’tazilah- yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk dan dia mengajak (baca : memaksa) manusia untuk mengikuti pendapatnya, padahal Al Qur’an adalah kalamulloh. Pendapat batil ini dianut pula oleh khalifah Al Watsiqbillah ibnu Muhammad Al Mu’tashimbillah ibnu Harun Ar Rasyid, khalifah dari Bani Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad.
Dialognya sebagai berikut :
Adzromi: “apakah Rasul dan sahabatnya paham tentang perkara yang engkau dakwahkan, ataukah mereka tidak paham ?”
Ahmad: “mereka tidak mengetahuinya !”
Adzromi: “bagaimana mungkin kamu mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahui ?”
Ahmad: (dia meralat jawaban) “oh, kalau begitu mereka mengetahuinya.” (ternyata dia masih tahu diri karena tidak mungkin ilmunya melebihi ilmu sahabat apalagi ilmu Rasul. Namun ahlu bid’ah sekarang sungguh begitu sombongnya mereka !! barangkali kalau ditanya kepada mereka apakah para sahabat tidak mengerti sesuatu yang kamu malah mengerti tentang agama ? niscaya mereka berkata, “oohh..bisa saja ! emang kenapa ?!”. Allahu Akbar, begitu lancangnya mereka-pent).
Adzromi: “apakah mereka mencukupkan diri dengan tidak membicarakannya dan tidak mendakwahkannya kepada manusia tentang itu, ataukah mereka tidak mencukupkan diri?”
Ahmad: “mereka mencukupkan diri.”
Adzromi: “kalau mereka diam, kenapa engkau malah membicarakan dan mendakwahkannya, tidak cukupkah engkau untuk berdiam diri”. Maka terdiamlah Ahmad bin Abi Du’ad. Dan setelah dialog ini khalifah bertaubat dan kembali kepada mazhab Ahlus sunnah.
Ketahuilah bahwasanya orang yang melakukan suatu amalan bid’ah maka secara tidak langsung dia telah menuduh Nabi Shallallohu ‘alaihi wa Sallam tidak jujur dan belum mengajarkan Islam semuanya kepada umat Islam. Atau menuduh Alloh tidak sempurna Ilmu-Nya karena tidak sempurna menurunkan wahyu. Na’udzubillah min dzalik. Wallohu a’lam…
Maraji’ :Arba’in Nawawi, Jami’ul ‘ulum wal Hikam, Fathul Bari, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Tafsir alQuran Al ‘Azhim Imam Ibnu Katsir, Kajian Arba’in Nawawi-Ustadz Abu Isa
<< Home